Entri Populer

Sabtu, 26 Mei 2012

::MASIHKAH KAU TERIMA TAUBATKU YA ROBB::





jalan gelap gulita itu hanya membawaku kepada kehancuran dan keputusaasaan tiada akhir,
terjebak di antara tipu daya dunia dan segala gemerlap kepalsuannya,
terjatuh di antara lubang kemudharatan dosa yang seolah tiada ada habisnya,
alangkah pandai tipu daya Iblis dan halus sekali bujukannya,
sungguh Iblis itu tak kenal lelah untuk menyesatkan aku,,

aku berpikir dalam keheningan,tampaknya tak jauh beda aku dengan musuhMU ya Rabb
aku begitu dekat dengan jurang nerakaMU, hidupku telah akrab dengan dosa..

glamournya kehidupan fatamorgana ini telah mampu membiusku untuk jauh dari jalanMU ya Rabb
seakan aku tak sadar bahwasanya aku hidup di dunia ini tak lama,
kontrak hidupku semakin berkurang dari hari ke hari,
waktu tak bisa dibohongi, dan waktu terus berjalan..
semakin dekat kematian itu mendatangiku..

terbersit tanya dalam hatiku..
"sampai kapan aku harus terus seperti ini?"
"sampai kapan aku terus berada dalam kenistaan ini?"
nurani memberontak, jiwa pun berkecamuk
hati gundah, aku ingin berubah..
aku ingin merasakan ketentraman dalam hatiku
aku ingin merasakan seperti apa ketentraman hati itu..

namun bertumpuknya dosa yang kuperbuat menjadi penghalangku dalam jalan menujuMU
aku sadar, dosa ku itu terlalu banyak untuk dapat termaafkan, aku takut jika tidak diampuni olehMU ya Rabb
aku bertanya kepada orang yang kupercaya tinggi ilmu agamanya
..
ustadz aku ingin kembali pada jalan Allah tapi dosaku tak mungkin dapat termaafkan karena banyaknya dosa yang telah kuperbuat, aku harus bagaimana ya ustadz?

ya fulan, sesungguhnya Allah itu Maha Penyayang, kasih sayang dan rahmat nya mendahului murkaNYa, Dia menyenangi hamabaNya yang ingin bertaubat, betapapun besar dosa engkau ya fulan jika engkau bertaubat sungguh-sungguh niscaya Allah menjadikanmu suci layaknya bayi yang baru lahir kembali, ingatlah firman Allah

: “ Sesunguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri” ( QS. Al-Baqarah : 222 )

“ Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya ”. ( QS. At-Tahrim : 8 )

adapun hadist juga turut menegaskan permasalahan mu ini,

Pengampunan Allah lebih besar dari dosamu. (HR. Ath-Thabrani dan Al-Baihaqi)

ya fulan, yakinlah Allah akan memafkanmu karena dosa yang kauperbuat itu, bertaubatlah, taubat secara sungguh-sungguh dan jangan kau kembali ke jalan kesesatan itu, raih kembali cintaNYA, raih dan reguklah kasih sayangNya, ketahuilah penghalang antara kau dan Allah diakibatkan karena dosa yang kau perbuat, jika kau bertaubat maka hijab itupun akan terbuka dan kau akan merasakan ketenangan yang luar biasa, karena Allah akan hadir dalam lubuk hatimu, Insya Allah

ya ustadz bimbinglah aku untuk bimbinglah aku untuk bertaubat sungguh-sungguh!

Baiklah saudaraku, seseungguhnya engkau akan memasuki gerbang kehidupanmu yang baru , Insya Allah
....

hujan malam ini terasa begitu deras dari biasanya,
menghilangkan kegundahan dan kesedihan hati ini, air mata menetes membasahi pipi,
tak dapat ku tahan,.

subhanallah, subhallah, subhanallah
maha suci Engkau ya Allah , kau tak pernah meninggalkan ku dalam keadaan terpuruk sekalipun,.
di saat semua hilang dan berganti, di saat semua telah pergi..dan aku nampak telah putus asa..

Engkau menegaskan kepada ku bahwasanya Engkaulah yang tetap setia bersamaku dalam keadaan apapun
kau telah memanduku agar sampai di jalan ini, jalan dimana hidupku baru saja akan dimulai..
terima kasih atas cahayaMU...

[Curahan hati seorang sahabat]

Kamis, 24 Mei 2012

::WANITA MAYORITAS PENGHUNI NERAKA::



Di antara prinsip akidah Ahluss Sunnah wal Jama’ah dan merupakan ijma’ mereka adalah meyakini bahwa surga dan neraka adalah makhluk yang telah Allah ciptakan dengan haq dan Dia menetapkan calon penghuni bagi keduanya.

Allah jadikan surga sebagai tempat tinggal abadi yang penuh dengan berbagai kenikmatan bagi orang-orang yang beriman kepada-Nya, senantiasa berbuat amal shalih, dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Sedangkan neraka, Dia jadikan sebagai tempat tinggal yang mengerikan dan membinasakan bagi setiap orang kafir, musyrik, munafik, dan durhaka kepada-Nya.

Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“(Surga itu) telah dipersiapkan bagi orang-orang yang bertakwa.” (Ali Imran: 132)
Dan firman-Nya: “Neraka itu telah dipersiapkan bagi orang-orang kafir.” (Al-Baqarah: 24, Ali Imran: 131)

Siapakah Mayoritas Penghuni Neraka?

Diriwayatkan dari Abu Sa’id al Khudriy, ia berkata: “Suatu ketika Rasulullah keluar pada hari raya Idul Adha atau Idul fitri menuju tempat shalat dan melalui sekelompok wanita. Beliau bersabda, ‘Wahai kaum wanita besedekahlah, sesungguhnya aku telah diperlihatkan bahwa kalian adalah mayoritas penghuni neraka.’ Mereka bertanya, ‘Mengapa wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Kalian banyak melaknat dan durhaka terhadap suami. Dan tidaklah aku menyaksikan orang yang memiliki kekurangan akal dan agama yang dapat menghilangkan akal kaum laki-laki yang setia daripada salah seorang di antara kalian.’ Mereka bertanya, ‘Apa yang dimaksud dengan kekurangan agama dan akal kami wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Bukankah kesaksian wanita sama dengan separuh kesaksian seorang pria?’ Mereka menjawab, ‘Benar.’ Beliau berkata lagi, ‘Bukankah apabila wanita mengalami haidh maka dia tidak melakukan shalat dan puasa?’ Mereka menjawab, ‘Benar.’ Beliau berkata, ‘Itulah (bukti) kekurangan agamanya.’” (HR.  Bukhari)

Dalam hadits lain yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah bersabda, “Neraka diperlihatkan kepadaku. Aku melihat kebanyakan penghuninya adalah kaum wanita. Lalu, surga diperlihatkan kepadaku dan aku melihat kebanyakan penghuninya adalah orang-orang fakir.” (HR. Ahmad)

Di dalam riwayat lain, Rasulullah bersabda, “Aku melihat ke dalam surga maka aku melihat kebanyakan penduduknya adalah orang-orang fakir dan aku melihat ke dalam neraka maka aku menyaksikan kebanyakan penduduknya adalah wanita.” (HR. Bukhari dan Muslim dan Ibnu Abbas dan Imran serta selain keduanya)

Hadits-hadits tersebut di atas memberitahukan kepada kita dengan jelas dan gamblang bahwa mayoritas penghuni surga adalah orang-orang fakir (miskin). Sedangkan penghuni neraka yang paling banyak adalah dari kaum wanita.

Mengapa Wanita Menjadi Mayoritas Penghuni Neraka?
Di dalam kisah gerhana matahari yang mana Rasulullah dan para sahabatnya melakukan shalat gerhana padanya dengan shalat yang panjang, diperlihatkan kepada beliau surga dan neraka. Ketika beliau melihat neraka, beliau bersabda kepada para sahabatnya:
“… dan aku melihat neraka maka tidak pernah aku melihat pemandangan seperti ini sama sekali, aku melihat kebanyakan penduduknya adalah kaum wanita.” Para sahabatnya pun bertanya: “Wahai Rasulullah, mengapa (demikian)?” Beliau menjawab: “Karena kekufuran mereka.” Kemudian mereka bertanya lagi: “Apakah mereka kufur terhadap Allah?” Beliau menjawab: “Mereka kufur (durhaka) terhadap suami-suami mereka, kufur (ingkar) terhadap kebaikan-kebaikannya. Kalaulah engkau berbuat baik kepada salah seorang di antara mereka selama waktu yang panjang kemudian dia melihat sesuatu pada dirimu (yang tidak dia sukai) niscaya dia akan berkata: ‘Aku tidak pernah melihat sedikit pun kebaikan pada dirimu.’” (HR. Bukhari)

Di dalam hadits lainnya, Rasulullah menjelaskan tentang sifat wanita penduduk neraka, beliau bersabda:
“…dan wanita-wanita yang berpakaian tetapi hakikatnya mereka telanjang, melenggak-lenggokkan kepala mereka karena sombong dan berpaling dari ketaatan kepada Allah dan suaminya, kepala mereka seakan-akan seperti punuk unta. Mereka tidak masuk surga dan tidak mendapatkan wanginya surga padahal wanginya bisa didapati dari jarak perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim dan Ahmad)

Dari beberapa hadits yang telah lalu, kita dapat mengetahui beberapa sebab yang menjerumuskan kaum wanita ke dalam api neraka dan bahkan menjadikan mereka golongan mayoritas dari penghuninya. Di antaranya adalah sebagai berikut:
  • Banyak Melaknat
Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh sabda Nabi, “Kalian banyak melaknat.”
Imam Nawawi menyebutkan bahwa para ulama telah bersepakat akan haramnya melaknat. Laknat dalam bahasa Arab artinya adalah menjauhkan. Sedangkan menurut syariat artinya adalah menjauhkan dari rahmat Allah dan kebaikan-Nya.

 Dan tidak diperbolehkan bagi seseorang menjauhkan orang-orang yang tidak diketahui keadaannya dan akhir perkaranya dengan pengetahuan yang pasti dari rahmat dan karunia Allah. Karena itu mereka mengatakan, ‘Tidak boleh melaknat seseorang yang secara zhahir adalah seorang muslim atau kafir kecuali terhadap orang yang telah kita ketahui menurut  dalil syar’i bahwa dia mati dalam keadaan kafir seperti Abu Jahal atau iblis.

Adapun melaknat (secara mutlak tanpa menyebut nama tertentu, pent) dengan menyebutkan sifat-sifatya tidaklah diharamkan seperti melaknat seorang wanita yang menyambung dan minta disambungkan rambutnya, seorang yang mentato dan minta ditato, pemakan riba dan yang memberi makan dengannya, pelukis (makhluk hidup), orang-orang zhalim, fasiq, kafir dan melaknat orang yang mengubah batas tanah, orang yang menasabkan seseorang kepada selain ayahnya, membuat sesuatu yang baru dalam Islam (bid’ah), dan lainnya sebagaimana telah disebutkan oleh dalil-dalil syar’i yang menunjukkan kepada sifat, bukan diri tertentu.1

  • Durhaka terhadap Suami dan Mengingkari Kebaikan-Kebaikannya
Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh sabda Nabi: “Mereka kufur (durhaka) terhadap suami-suami mereka, kufur (ingkar) terhadap kebaikan-kebaikannya.”
Kedurhakaan semacam ini banyak sekali kita dapati dalam kehidupan keluarga kaum muslimin, yakni seorang istri yang mengingkari kebaikan-kebaikan suaminya selama sekian waktu yang panjang hanya disebabkan sikap atau perbuatan suami yang tidak cocok dengan kehendak sang istri.

Padahal yang harus dilakukan oleh seorang istri adalah bersyukur atas kebaikan yang diberikan suaminya, janganlah ia mengkufurinya karena Allah tidak akan melihat kepada istri semacam ini sebagaimana dijelaskan Rasulullah: “Allah tidak akan melihat kepada wanita yang tidak mensyukuri apa yang ada pada suaminya dan tidak merasa cukup dengannya.”2

Termasuk dalam bentuk kedurhakaan istri kepada suami adalah hal-hal berikut ini apabila dilakukan tanpa alasan yang dibenarkan syariat: Tidak melayani kebutuhan seksual suaminya, atau bermuka masam ketika melayaninya, tidak mau berdandan atau mempercantik diri untuk suami padahal suami menginginkan hal itu, menyebarkan aib suami kepada orang lain, menolak bersafar (melakukan perjalanan) bersama suaminya, mengkhianati suami dan hartanya, membuka dan menampakkan apa yang seharusnya ditutupi dari anggota tubuhnya, berjalan di tempat umum dan pasar-pasar tanpa mahram, bersenda gurau atau berbicara lemah lembut penuh mesra kepada lelaki yang bukan mahramnya, meminta cerai dari suaminya tanpa sebab yang syar’i, dan yang semisalnya.

  • Tabarruj (Bersolek)
Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh sabda Nabi: “Dan wanita-wanita yang berpakaian tetapi hakikatnya mereka telanjang.”
Yang dimaksud dengan tabarruj adalah seorang wanita yang menampakkan perhiasannya dan keindahan tubuhnya serta apa-apa yang seharusnya wajib untuk ditutupi dari hal-hal yang dapat menarik syahwat lelaki.3

Ibnu Abdil Barr berkata: “Wanita-wanita yang dimaksud Nabi adalah yang memakai pakaian yang tipis yang menampakkan bentuk tubuhnya dan tidak menutupinya, maka mereka adalah wanita-wanita yang berpakaian pada zhahirnya dan telanjang pada hakikatnya.”4

Mereka adalah wanita-wanita yang suka menampakkan perhiasan mereka, padahal Allah telah melarang hal ini dalam firman-Nya:
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan-perhiasan mereka.” (An-Nur: 31)

Wahai ukhti muslimah, hindarilah tabarruj dan berhiaslah dengan pakaian yang Islami yang menyelamatkan kalian dari dosa di dunia ini dan azab di akhirat kelak.
Allah berfirman: “Dan tinggallah kalian di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian bertabarruj dengan tabarrujnya orang-orang jahiliyyah pertama dahulu.” (Al-Ahzab: 33)

Inilah beberapa sebab yang mengantarkan wanita menjadi mayoritas penduduk neraka. Semoga Allah menyelamatkan kita semua dari azab-Nya di dunia dan akhirat. Aamiin..

Selasa, 22 Mei 2012

::TANGIS GADIS KECIL & HASAN AL-BASRI::




Alkisah, saat tengah hari Hasan al-Bashri duduk diteras rumahnya, lewat jenazah dengan iring-iringan orang di belakangnya. Di bawah kerenda jenazah tersebut, berjalan seorang gadis kecil dengan rambut kusut. Ia menangis. Perilaku anak tersebut menarik perhatian Hasan al-Bashri. Ia pun berdiri dan mengikuti gadis kecil tersebut bersama iring-iringan pengantar jenazah.


Ia mendengar gadis kecil tersebut berkata, “Baru kali ini aku mengalami seperti ini, Ayah.”
Pernyataan gadis kecil tersebut membuat Hasan al-Bashri tertarik untuk menyahutinya, “Ayahmu juga tidak pernah mengalami seperti ini sebelumnya.”
Setelah dilakukan shalat janazah dan penguburannya, semua pengiring jenazah pun pulang. Termasuk anak kecil tersebut.
 
Esoknya, usai shalat subuh dan matahari pun telah terbit, seperti biasanya Hasan al-Bashri duduk di teras rumahnya. Tiba-tiba pandangannya menangkap gadis kecil kemarin yang sedang nangis. Ia berjalan menujuk kuburan ayahnya.

“Gadis kecil yang bijak,” gumamnya dalam hati. “Aku akan mengikutinya. Semoga kata-katanya berguna bagiku.”
Ketika gadis itu sampai di pemakaman ayahnya, Hasan Bashri bersembunyi agar tidak diketauhi kehadirannya. Ia lihat gadis kecil tersebut jongkok dan menempelkan pipinya ke tanah.

“Ayah,” kata gadis kecil itu. “Bagaimana rasanya tinggal sendirian di dalam kubur yang gelap tanpa cahaya dan lampu? Ayah, kemarin malam masih kunyalakan lampu untuk Ayah, tadi malam siapa yang menyalakannya, Yah? Kemarin, aku masih membentangkan tikar, sekarang siapa yang melakukannya, Yah? Kemarin malam aku masih memijit tangan dan kaki Ayah, siapa yang memijit Ayah tadi malam? Kemarin aku masih memberi Ayah minum, sekarang siapa yang melakukannya, Yah? Kemarin malam aku yang membaringkan badan Ayah dari satu sisi ke sisi lain agar lebih enak, siapa tadi malam yang melakukannya, Yah?

Kemarin malam, kuselimuti Ayah. Lalu tadi malam siapa yang menyelimuti Ayah? Kemarin malam kuperhatikan wajah Ayah, siapa yang memperhatikan Ayah tadi malam? Kemarin malam Ayah memanggilku dan aku segera menjawab panggilan Ayah. Tadi malam kalau Ayah memanggil siapa yang jawab, Yah? Kemarin malam kalau makan Ayah kusiapi, tadi malam siapa yang menyuapin Ayah? Kemarin malam kumasakkan makanan kesukaan Ayah, tadi malam siapa yang memasakkan makanan untuk Ayah?

Hasan Al-Bashri tak tahan, ia lalu menangis. Ia segera menunjukkan diri. “Hai gadis kecil, jangan berkata seperti itu. Tapi katakanlah:

Kami hadapkan Ayah ke arah kiblat, apakah Ayah masih begitu ataukah sudah berubah arah sekarang? Kami kafani ayah dengan dengan kain kafan terbaik, apakah masih utuh atau sudah terkoyak-koyak, Yah? Kami letakkan Ayah dalam keadaan badan yang utuh, lalu apakah masih demikian atau cacing tanah telah menyantap Ayah?

Ulama bilang, setiap orang yang mati pasti ditanya tentang imannya. Ada yang menjawab dan ada yang tidak. Bagaimana dengan Ayah? Apakah Ayah bisa mempertanggungjawabkan keimanan Ayah atau tidak?

Ulama bilang, mereka yang mati kain kafannya diganti dengan yang dari surga atau kain kafan dari neraka. Ayah dapat kain kafan yang mana?
Ulama bilang, kubur sebagai taman surga atau jurang menuju neraka.

Ulama juga bilang, kubur kadang membelai orang mati seperti kasih sayang seorang ibu, atau terkadang menghimpitnya sehingga tulang belulang berantakan. Apakah Ayah dibelai atau dimarahi, Yah?

Ayah, ulama bilang, orang yang dikebumikan menyesal mengapa tidak memperbanyak amal baik. Orang yang ingkar menyesal dengan tumpukan maksiatnya. Apakah Ayah menyesal karena perbuatan zhalim yang pernah Ayah lakukan atau karena amal baik Ayah yang sedikit?

Dulu jika aku memanggil Ayah selalu menyahut. Sekarang aku memanggil Ayah di atas gundukan tanah ini, apakah Ayah bisa mendengar panggilanku?
Ayah kini telah tiada. Aku tak bisa menemui Ayah lagi hingga kiamat nanti. Ya Allah jangan Kau halangi pertemuanku dengan Ayahku di akhirat nanti.”

Gadis kecil itu pun berkata, “Paman, betapa baik ratapan paman terhadap Ayahku. Betapa bermanfaatnya bimbingan yang paman ajarkan. Paman ingatkan aku dari ratapan yang tidak bermanfaat menuju ratapan yang bermanfaat.”

Lalu Hasan al-Bashri dan gadis kecil pun pulang dengan air mata yang masih menetes membasahi pipi mereka.

Senin, 21 Mei 2012

:: HUKUM PACARAN MENURUT ISLAM ::








Cinta kepada lain jenis merupakan hal yang fitrah bagi manusia. Karena sebab cintalah, keberlangsungan hidup manusia bisa terjaga. Oleh sebab itu, Allah Ta’ala menjadikan wanita sebagai perhiasan dunia dan kenikmatan bagi penghuni surga. 

Islam sebagai agama yang sempurna juga telah mengatur bagaimana menyalurkan fitrah cinta tersebut dalam syariatnya yang rahmatan lil ‘alamin. Namun, bagaimanakah jika cinta itu disalurkan melalui cara yang tidak syar`i?

Fenomena itulah yang melanda hampir sebagian besar anak muda saat ini. Penyaluran cinta ala mereka biasa disebut dengan pacaran. Berikut adalah beberapa tinjauan syari’at Islam mengenai pacaran.

Ajaran Islam Melarang Mendekati Zina

 

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Isro’ [17]: 32)


Dalam Tafsir Jalalain dikatakan bahwa larangan dalam ayat ini lebih keras daripada perkataan ‘Janganlah melakukannya’. Artinya bahwa jika kita mendekati zina saja tidak boleh, apalagi sampai melakukan zina, jelas-jelas lebih terlarang. Asy Syaukani dalam Fathul Qodir mengatakan, ”Apabila perantara kepada sesuatu saja dilarang, tentu saja tujuannya juga haram dilihat dari maksud pembicaraan.

Dilihat dari perkataan Asy Syaukani ini, maka kita dapat simpulkan bahwa setiap jalan (perantara) menuju zina adalah suatu yang terlarang. Ini berarti memandang, berjabat tangan, berduaan dan bentuk perbuatan lain yang dilakukan dengan lawan jenis karena hal itu sebagai perantara kepada zina adalah suatu hal yang terlarang.

Islam Memerintahkan untuk Menundukkan Pandangan

 

Allah memerintahkan kaum muslimin untuk menundukkan pandangan ketika melihat lawan jenis. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah kepada laki–laki yang beriman : ”Hendaklah mereka menundukkan pandangannya dan memelihara kemaluannya.” (QS. An Nuur [24]: 30 )


Dalam lanjutan ayat ini, Allah juga berfirman, “Katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman : “Hendaklah mereka menundukkan pandangannya, dan kemaluannya” (QS. An Nuur [24]: 31)


Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat pertama di atas mengatakan, ”Ayat ini merupakan perintah Allah Ta’ala kepada hamba-Nya yang beriman untuk menundukkan pandangan mereka dari hal-hal yang haram. Janganlah mereka melihat kecuali pada apa yang dihalalkan bagi mereka untuk dilihat (yaitu pada istri dan mahromnya). Hendaklah mereka juga menundukkan pandangan dari hal-hal yang haram. Jika memang mereka tiba-tiba melihat sesuatu yang haram itu dengan tidak sengaja, maka hendaklah mereka memalingkan pandangannya dengan segera.
Ketika menafsirkan ayat kedua di atas, Ibnu Katsir juga mengatakan, ”Firman Allah (yang artinya) ‘katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman : hendaklah mereka menundukkan pandangan mereka’ yaitu hendaklah mereka menundukkannya dari apa yang Allah haramkan dengan melihat kepada orang lain selain suaminya. Oleh karena itu, mayoritas ulama berpendapat bahwa tidak boleh seorang wanita melihat laki-laki lain (selain suami atau mahromnya, pen) baik dengan syahwat dan tanpa syahwat. … Sebagian ulama lainnya berpendapat tentang bolehnya melihat laki-laki lain dengan tanpa syahwat.

Lalu bagaimana jika kita tidak sengaja memandang lawan jenis?

 

Dari Jarir bin Abdillah, beliau mengatakan, “Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan yang cuma selintas (tidak sengaja). Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepadaku agar aku segera memalingkan pandanganku.” (HR. Muslim no. 5770)

Faedah dari menundukkan pandangan, sebagaimana difirmankan Allah dalam surat An Nur ayat 30 (yang artinya) “yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka” yaitu dengan menundukkan pandangan akan lebih membersihkan hati dan lebih menjaga agama orang-orang yang beriman. Inilah yang dikatakan oleh Ibnu Katsir –semoga Allah merahmati beliau- ketika menafsirkan ayat ini. –Semoga kita dimudahkan oleh Allah untuk menundukkan pandangan sehingga hati dan agama kita selalu terjaga kesuciannya.

Agama Islam Melarang Berduaan dengan Lawan Jenis

 

Dari Ibnu Abbas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita kecuali jika bersama mahromnya.” (HR. Bukhari, no. 5233). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita yang tidak halal baginya karena sesungguhnya syaithan adalah orang ketiga di antara mereka berdua kecuali apabila bersama mahromnya.” (HR. Ahmad no. 15734. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan hadits ini shohih ligoirihi)

Jabat Tangan dengan Lawan Jenis Termasuk yang Dilarang

 

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu , Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini suatu yang pasti terjadi, tidak bisa tidak. Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.” (HR. Muslim no. 6925)


Jika kita melihat pada hadits di atas, menyentuh lawan jenis -yang bukan istri atau mahrom- diistilahkan dengan berzina. Hal ini berarti menyentuh lawan jenis adalah perbuatan yang haram karena berdasarkan kaedah ushul “apabila sesuatu dinamakan dengan sesuatu lain yang haram, maka menunjukkan bahwa perbuatan tersebut adalah haram”. (Lihat Taysir Ilmi Ushul Fiqh, Abdullah bin Yusuf Al Juda’i)

Meninjau Fenomena Pacaran


Setelah pemaparan kami di atas, jika kita meninjau fenomena pacaran saat ini pasti ada perbuatan-perbuatan yang dilarang di atas. Kita dapat melihat bahwa bentuk pacaran bisa mendekati zina. Semula diawali dengan pandangan mata terlebih dahulu. Lalu pandangan itu mengendap di hati. Kemudian timbul hasrat untuk jalan berdua. Lalu berani berdua-duan di tempat yang sepi. Setelah itu bersentuhan dengan pasangan. Lalu dilanjutkan dengan ciuman. Akhirnya, sebagai pembuktian cinta dibuktikan dengan berzina. –Naudzu billahi min dzalik-. 


Lalu pintu mana lagi paling lebar dan paling dekat dengan ruang perzinaan melebihi pintu pacaran?!


Mungkinkah ada pacaran Islami? Sungguh, pacaran yang dilakukan saat ini bahkan yang dilabeli dengan ’pacaran Islami’ tidak mungkin bisa terhindar dari larangan-larangan di atas. Renungkanlah hal ini!

Mustahil Ada Pacaran Islami

 

Salah seorang dai terkemuka pernah ditanya, ”Ngomong-ngomong, dulu bapak dengan ibu, maksudnya sebelum nikah, apa sempat berpacaran?” Dengan diplomatis, si dai menjawab,”Pacaran seperti apa dulu? Kami dulu juga berpacaran, tapi berpacaran secara Islami. Lho, gimana caranya? Kami juga sering berjalan-jalan ke tempat rekreasi, tapi tak pernah ngumpet berduaan. Kami juga gak pernah melakukan yang enggak-enggak, ciuman, pelukan, apalagi –wal ‘iyyadzubillah- berzina.


Nuansa berpikir seperti itu, tampaknya bukan hanya milik si dai. Banyak kalangan kaum muslimin yang masih berpandangan, bahwa pacaran itu sah-sah saja, asalkan tetap menjaga diri masing-masing. Ungkapan itu ibarat kalimat, “Mandi boleh, asal jangan basah.” Ungkapan yang hakikatnya tidak berwujud. Karena berpacaran itu sendiri, dalam makna apapun yang dipahami orang-orang sekarang ini, tidaklah dibenarkan dalam Islam. Kecuali kalau sekedar melakukan nadzar (melihat calon istri sebelum dinikahi, dengan didampingi mahramnya), itu dianggap sebagai pacaran. Atau setidaknya, diistilahkan demikian.

Namun itu sungguh merupakan perancuan istilah. Istilah pacaran sudah kadong dipahami sebagai hubungan lebih intim antara sepasang kekasih, yang diaplikasikan dengan jalan bareng, jalan-jalan, saling berkirim surat, ber SMS ria, dan berbagai hal lain, yang jelas-jelas disisipi oleh banyak hal-hal haram, seperti pandangan haram, bayangan haram, dan banyak hal-hal lain yang bertentangan dengan syariat. Bila kemudian ada istilah pacaran yang Islami, sama halnya dengan memaksakan adanya istilah, meneggak minuman keras yang Islami. Mungkin, karena minuman keras itu di tenggak di dalam masjid. Atau zina yang Islami, judi yang Islami, dan sejenisnya. Kalaupun ada aktivitas tertentu yang halal, kemudian di labeli nama-nama perbuatan haram tersebut, jelas terlalu dipaksakan, dan sama sekali tidak bermanfaat.

Pacaran Terbaik adalah Setelah Nikah

 

Islam yang sempurna telah mengatur hubungan dengan lawan jenis. Hubungan ini telah diatur dalam syariat suci yaitu pernikahan. Pernikahan yang benar dalam Islam juga bukanlah yang diawali dengan pacaran, tapi dengan mengenal karakter calon pasangan tanpa melanggar syariat. Melalui pernikahan inilah akan dirasakan percintaan yang hakiki dan berbeda dengan pacaran yang cintanya hanya cinta bualan.
Dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kami tidak pernah mengetahui solusi untuk dua orang yang saling mencintai semisal pernikahan.” (HR. Ibnu Majah no. 1920. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani)
Kalau belum mampu menikah, tahanlah diri dengan berpuasa. Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mampu untuk menikah, maka menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu bagaikan kebiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Cinta sejati akan ditemui dalam pernikahan yang dilandasi oleh rasa cinta pada-Nya. Mudah-mudahan Allah memudahkan kita semua untuk menjalankan perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya.


Allahumma inna nas’aluka ’ilman nafi’a wa rizqon thoyyiban wa ’amalan mutaqobbbalan.

Minggu, 20 Mei 2012

::ISLAM AGAMA YANG MUDAH::



“Sesungguhnya Allah Swt. tidak mengutusku untuk mempersulit atau memperberat, melainkan sebagai seorang pengajar yang memudahkan.” (HR. Muslim, dari ‘Aisyah ra.)

Islam mempunyai karakter sebagai agama yang penuh kemudahan seperti telah ditegaskan langsung oleh Allah Swt. dalam firmanNya:
وماجعل عليكم في الدين من حرج   

            “…dan Dia tidak menjadikan kesukaran dalam agama atas diri kalian.”

Sementara dalam sebuah haditsnya, Nabi Saw. pun bersabda:

إن الله لم يبعثني معنتا ولامتعنتا ولكن بعثني معلما ميسرا

“Sesungguhnya Allah Swt. tidak mengutusku untuk mempersulit atau memperberat, melainkan sebagai seorang pengajar yang memudahkan.” (HR. Muslim, dari ‘Aisyah ra.)

Visi Islam sebagai agama yang mudah di atas termanifestasi secara total dalam setiap syari’atnya. Sampai-sampai, Imam Ibn Qayyim menyatakan, “Hakikat ajaran Islam semuanya mengandung rahmah dan hikmah. Kalau ada yang keluar dari makna rahmah menjadi kekerasan, atau keluar dari makna hikmah menjadi kesia-siaan, berarti itu bukan termasuk ajaran Islam. Kalaupun dimasukkan oleh sebagian orang, maka itu adalah kesalahkaprahan.”


            Ada beberapa prinsip yang secara kuat mencerminkan betapa Islam merupakan agama yang mudah. Yaitu di antaranya:

            Pertama, menjalankan syari’at Islam boleh secara gradual (bertahap). Dalam hal ini, seorang muslim tidak serta-merta diharuskan menjalankan kewajiban agama dan amalan-amalan sunnah secara serentak. Ada tahapan yang mesti dilalui: mulanya kita hanya diperintahkan untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban pokok agama. Setelah yang pokok-pokok berhasil dilakukan dengan baik dan rapi, kalau punya kekuatan dan kesempatan, maka dianjurkan untuk menambah dengan amalan-amalan sunnah.

Izin untuk mengamalkan syari’at Islam secara bertahap ini telah dicontohkan oleh RasululLah Saw. sendiri. Suatu hari, seorang Arab Badui yang belum lama masuk Islam datang kepada RasululLah Saw. Ia dengan terus-terang meminta izin untuk sementara menjalankan kewajiban-kewajiban Islam yang pokok saja, tidak lebih dan tidak kurang. Beberapa Sahabat Nabi menunjukkan kekurang-senangannya karena menilai si Badui enggan mengamalkan yang sunnah. Tapi dengan tersenyum, Nabi Saw. mengiyakan permintaan orang Badui tersebut. Bahkan beliau bersabda: “Dia akan masuk surga kalau memang benar apa yang dikatakannya.” 


Kedua, adanya anjuran untuk memanfaatkan aspek rukhshah (keringanan dalam praktek beragama). Aspek Rukhshah ini terdapat dalam semua praktek ibadah, khususnya bagi mereka yang lemah kondisi tubuhnya atau berada dalam situasi yang tidak leluasa. Bagi yang tidak kuat shalat berdiri, dianjurkan untuk shalat sambil duduk. Dan bagi yang tidak kuat sambil duduk, dianjurkan untuk shalat rebahan. Begitu pula, bagi yang tidak kuat berpuasa karena berada dalam perjalanan, maka diajurkan untuk berbuka dan mengganti puasanya di hari-hari yang lain.

            Dalam sebuah hadits Qudsi Allah Swt. berfirman:

إن الله يحب أن تؤتي رخصه كما يكره أن تؤتي معصيته

“Sesungguhnya Allah suka kalau keringanan-keringananNya dimanfaatkan, sebagaimana Dia benci kalau kemaksiatan terhadap perintah-perintahNya dilakukan.” (HR. Ahmad, dari Ibn ‘Umar ra.)

Dalam sebuah perjalanan jauh, RasululLah Saw. pernah melihat seorang Sahabatnya tampak lesu, lemah, dan terlihat berat. Beliau langsung bertanya apa sebabnya. Para Sahabat yang lain menjawab bahwa orang itu sedang berpuasa. Maka RasululLah Saw. langsung menegaskan: “Bukanlah termasuk kebajikan untuk berpuasa di dalam perjalanan (yang jauh).” (HR. Ibn Hibbân, dari Jâbir bin ‘AbdilLâh ra.)  

            Ketiga, Islam tidak mendukung praktek beragama yang menyulitkan. Disebutkan dalam sebuah riwayat, ketika sedang menjalankan ibadah haji, RasululLâh Saw. memperhatikan ada Sahabat beliau yang terlihat sangat capek, lemah dan menderita. Maka beliau pun bertanya apa sebabnya. Ternyata, menurut cerita para sahabat yang lain, orang tersebut bernadzar akan naik haji dengan berjalan kaki dari Madinah ke Mekkah. Maka RasululLâh Saw. langsung memberitahukan, “Sesunguhnya Allah tidak membutuhkan tindakan penyiksaan diri sendiri, seperti yang dilakukan oleh orang itu.” (HR. Bukhâri dan Muslim, dari Anas ra.)


            Demikianlah, Islam sebagai agama yang rahmatan lil’ ‘alamin secara kuat mencerminkan aspek hikmah dan kemudahan dalam ajaran-ajarannya. Dan kita sebagai kaum muslimin, telah dipilih oleh Allah Swt. untuk menikmati kemudahan-kemudahan tersebut. Diceritakan oleh ‘Aisyah ra. bahwa RasululLâh Saw. sendiri dalam kesehariaannya, ketika harus menentukan antara dua hal, beliau selalu memilih salah satunya yang lebih mudah, selama tidak termasuk dalam dosa. (HR. Bukhâri dan Muslim)

Akan tetapi, kemudahan dalam Islam bukan berarti media untuk meremehkan dan melalaikan kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan. Rukhshah tidak untuk dijadikan apologi, keringanan-keringanan dari Allah bagi kita jangan sampai membuat kita justru menjadi jauh dariNya. Karakter Islam sebagai agama yang mudah merupakan manifestasi nyata bahwa ajaran Islam bukanlah sekumpulan larangan yang intimidatif, melainkan ajaran yang mewedarkan kasih-sayang. Sehingga dengan demikian, ketika kita menjalankan ajaran-ajaran Islam, motivasinya bukan karena kita takut kepada Allah Swt., tapi lebih karena kita rindu dan ingin lebih dekat denganNya. Bukan karena kita ngeri akan nerakaNya, namun lebih karena kita ingin bersimpuh di haribaanNya –di dalam surga yang abadi.